Sebagai seseorang yang tumbuh dewasa ditengah-tengah peralihan teknologi pasti merasakan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi. Sejarah inovasi dunia memiliki sejarah yang panjang, mulai dari pusat perkembangan ilmu di Damaskus dan Baghdad, revolusi industri di Eropa, sampai pada era teknologi informasi seperti sekarang ini.

Tentu kita masih ingat ketika dulu kita belajar untuk menyusun surat. Lengkap mulai dari kepala surat, isi, serta tanda tangan kita. Kini teknologi analog tersebut berganti dengan surat elektronik atau electronic mail. Tinggal isi alamat penerima surat, judul dan isinya, kemudian kita masukkan digital signature pada surel kita. Kirim dan secara instan surel sudah sampai di tujuan.


Pada saat Pak BJ Habibie memberikan kuliah umum di RWTH Aachen University di depan mahasiswa dan ilmuwan Indonesia beberapa pekan lalu (salah satu beritanya di sini) sempat disinggung tentang brain drain yang sedang melanda Indonesia kini, di mana banyaknya tenaga-tenaga muda intelektual yang menuntut ilmu di negeri orang namun tak kunjung pulang ke tanah airnya sendiri guna meneruskan pembangungan. Pak Habibie lantas menerangkan bahwa sah-sah saja para ilmuwan dan mahasiswa jangan pulang dulu ke Indonesia. Karena di tanah air sendiri belum ada karir pasti untuk para intelektual muda seperti mereka. Selain menjadi dosen dan tenaga pengajar di institusi pendidikan tinggi juga belum ada lapangan pekerjaan yang dapat menunjukkan karya mereka secara konkrit untuk pembangunan. Lain halnya dengan di negara-negara Eropa terutama Jerman yang sampai kini masih menjadi pusat perkembangan teknologi dunia. Perusahaan-perusahaan terkemuka di sana seperti BWM, Mercedes-Benz, Siemens, dan masih ada ratusan perusahaan kelas dunia yang menggunakan inovasi teknologi sebagai pasar bisnis mereka.

Pertanyaannya dapatkah Indonesia menjadi barometer pusat perkembangan teknologi seperti Jerman? Mengingat pesatnya pertumbuhan industri teknologi di Jerman juga karena peran sarjana dari Indonesia. Beberapa tahun lalu di masa orde baru, Pak Habibie berhasil menancapkan tombak perjuangan pembangungan teknologi Indonesia. Pada saat itu Pak Habibie yang baru saja dipanggil kembali ke Indonesia oleh mantan preside Soeharto, Alm. diminta untuk memimpin pembangunan teknologi di Indonesia. Pak Habibie pun masuk ke dalam Kabinet Pembangunan ke-3 pada tahun 1978. Sungguh luar biasa dalam waktu singkat berhasil membangun beberapa badan organisasi untuk menunjang pembangunan riset dan teknologi Indonesia di antaranya BPPT dan IPTN. Yang betul-betul nampak peran Pak Habibie adalah pencanangan pembangunan inudstri penerbangan di Indonesia yang menghasilkan keberhasilan menciptakan pesawat asli buatan Indonesia bernama "Gatot Koco". Pesawat ini terbang perdana tahun 1995, sungguh prestasi yang luar biasa.

Yang perlu kita catat pada saat itu adalah momen kembalinya para ilmuwan Indonesia yang mengabdi pada negeri orang. Tentu saja pengabdian mereka semata-mata karena jaminan hidup layak dan kecintaan mereka pada profesi mereka. Namun Pak Habibie mampu meyakinkan rekan-rekannya ilmuwan di Jerman untuk pulang ke tanah air untuk membangun teknologi di sini. Kini puluhan tahun sudah berlalu semenjak momen tersebut dan makin banyak Indonesia punya ilmuwan di negeri orang. Mampukah kita mengulang momen itu kembali dan membuat Indonesia makin dilirik oleh dunia karena perkembangan teknologinya yang canggih?

Kita tidak hanya memiliki ilmuwan di industri penerbangan. Kita masih memiliki Ken "Kawan" Soetanto ilmuwan teknologi biomedis di Jepang. Pencipta Electric Capacitance Volume Tomography Dr. Warsito Purnomo. Saya yakin masih banyak ilmuwan di luar sana di berbagi bidang mau kembali membangun Indonesia. Tinggal kapan kita mau mewujudwak perubahan Brain Drain menjadi Brain Gain?

Tulisan ini saya dedikasikan untuk memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus. Untuk mengingat kembali bahwa kita pernah jaya di bidang teknologi, sesuatu yang membuat kita bangga menjadi bangsa Indonesia.

Selamat hari kebangkitan teknologi nasional! Terima kasih kepada pada Bapak Prof. Dr-Ing. B.J. Habibie telah membuka mata kita bahwa kita tidak bisa menjadi bangsa yang minder, tapi kita juga bisa seperti negara lain.


Sudah berbulan-bulan lamanya saya berhenti menulis. Padahal sudah banyak ide-ide tulisan yang ditulis di Windows Notebook dan tiba-tiba saja bencana "gak sengaja memformat harddisk" terjadi, ya ilang semua deh isinya. Belajar dari kesalahan yang lalu agar tidak sepenuhnya percaya pada penyimpanan digital dan juga salah satu tips menulis yang saya dapat dari MotivaTweet bahwa menulis dengan tangan dibandingkan dengan mengetik itu lebih memiliki rasa dibandingkan dengan hanya mengetik. Selain itu menurut saya kita jadi punya arsip fisik dari tulisan-tulisan yang kita muat di blog. Meskipun akan banyak berubah ketika dipindah ke blog, setidaknya coret-coretan tersebut akan memunculkan ide kembali dan bisa direuse.


Pada suatu waktu saya coba untuk blogwalking kembali, siapa tahu dapat ide baru untuk menulis. Dan saya pun mendapatkan tulisan dari narablog Nukman yang menulis tentang semangat ngeblog yang padam. Ternyata salah satu penyebab seorang blogger berhenti ngeblog salah satunya adalah munculnya microblog-microblog seperti FB, Twitter, Tumblr, dan Google+. Selain itu blogger lebih sering kehilangan arah atau alasan mengapa mereka mulai membuat blog.

Maka saya mulai ingat-ingat lagi mengapa dulu saya ingin membuat blog. Selain dulu sedang maraknya Blogger dan Wordpress, juga kemudian saya suka mengutak-atik halaman template Blogger yang memperkenalkan saya dengan dasar Web Programming. Kini saya juga mewujudkan mimpi saya menjadi "Techno Doctor".

Masuknya dunia kini ke dalam era informatika menyebabkan aspek-aspek kultur di masyarakat juga berubah. Terutama dalam hal keterbukaan informasi dan masyarakat (pasien) yang semakin cerdas. Media massa yang semakin kritis juga dapat menjadi ancaman profesi dokter karena berita-berita yang kurang benar atau kurang paham tentang ilmu atau profesi kedokteran itu sendiri. Apabila dokter kini tidak mengikuti perkembangan teknologi yang ada, tentu dokter semakin kelimpungan dengan cepatnya informasi yang beredar.

Kesimpulannya, mulai hari ini saya coba aktif menulis kembali minimal seminggu sekali dan akan ada posting baru setiap hari sabtu atau minggu (weekend). Doakan saya ya :)

"Setelah tender selesai, Dipl.-Ing. Makosch mengajak santap siang bersama. Pada kesempatan tersebut ia menawarkan menjadi karyawan Talbot, melanjutkan program S3 dan dipersiapkan untuk mengganti posisi Dipl.-Ing. Makosch yang dalam 3 tahun mendatang akan memasuki masa pensiun. Setelah saya diskusikan dengan Ainun, kami sepakat untuk tidak menerima tawaran Talbot dan tetap melaksanakan tugas sesuai rencana untuk kelak ikut berperan aktif membangun Indonesia."Habibie & Ainun Hal. 30

Ketika itu Pak Habibie telah selesai mendemonstrasikan rancangan Gerbong Ruang Luas untuk mengangkut beban lebih dari 200 ton tanpa ada masalah. Sebelumnya rancangannya sempat dipandang sinis oleh ahli konstruksi ringan lain di sana, yang tentu saja berkebangsaan Jerman. Namun di sana beliau membuktikan bahwa idenya berhasil, dan tentu saja mengharumkan nama bangsa di sana.


Ketika ditawari pekerjaan tetap di sana, apalagi di negara Jerman, mungkin seorang ilmuwan yang rasa nasionalismenya kecil akan langsung mengiyakan tawaran tersebut, namun tidak dengan ilmuwan yang negarawan macam Prof. Dr.-Ing. B.J. Habibie. Ditolaknya tawaran tersebut dan lebih membaktikan diri untuk Indonesia, tanah kelahirannya.

Begitu miris ketika anak bangsa yang sudah membuktikan prestasinya di luar negeri, namun tidak mampu berkreasi lebih di negaranya sendiri. Berbagai macam alasan dilontarkan hanya supaya ilmuwan-ilmuwan tersebut tidak berkembang, dan tentu saja dukungan yang minim. Alhasil kita tidak mampu menjadi negara yang mandiri, semuanya serba impor dan mengandalkan tenaga dari luar. Bisa dibilang Indonesia ini negara yang tidak percaya diri. Sendainya saja P.T. Dirgantara tidak ditutup, sudah pasti kita bisa punya pesawat sendiri, Presiden bisa punya pesawat pribadi untuk kepentingan tugas negara. Seandainya Universitas bisa diberi dana lebih untuk penelitian, kita bisa membuat obat-obatan sendiri, tidak perlu mengimpor obat-obatan luar negeri. Yang lebih paham negeri kita ya orang kita sendiri, maka yang harus menggunakan produk-produk dalam negeri yang lebih "paham" kita sendiri.

Suatu pelajaran berharga dari kehidupan seorang B.J. Habibie, ketika di Jerman beliau hidup berdua dengan isrtinya Ainun dengan serba kesederhanaan. Hidup sehari-hari hanya untuk mengurus rumah tangga dan belajar, menyelesaikan pendidikan sehingga kelak bisa berguna untuk negara dan bangsa.

Ya, kita harus menjadi negara yang mandiri. Kita para pemuda harus memaksa pemerintah untuk mandiri, bagaimanapun caranya. Saya adalah pemuda Indonesia yang tidak ingin menjadi budak di negara sendiri, yang kini diperbudak oleh keinginan-keinginan oknum yang hanya ingin memperkaya diri sendiri. Jangan takut untuk bermimpi besar seperti B.J. Habibie.

Saya ceritakan sedikit mimpi saya. Saya hanya ingin Indonesia bisa mandiri di bidang kesehatan. Saat ini industri kesehatan Indonesia tersaingi dengan negara tetangga kita Singapura. Mereka yang berduit banyak memilih berobat ke luar negeri dibandingkan memanfaatkan fasilitas kesehatan di negeri sendiri. Hal yang miris ketika ilmu penyakit tropis kita harus mengadopsi dari negara subtropis atau sedang. Miris ketika kita punya peluang memiliki pabrik vaksin sendiri, tapi vaksin penyakit tropis kita masih mengimpor dari Amerika.

Seorang senior saya semalam bilang bahwa cara mahasiswa sekarang membangun Indonesia adalah dengan berdemo. Salah satu cara supaya tidak merasa berdosa pada sejarah yang telah berusaha membuat perubahan. Demo adalah salah satu cara yang mampu menarik perhatian media massa, supaya mereka tercatat di lembar sejarah bahwa mereka pernah melakukan usaha. Lalu bagaimana dengan mereka mahasiswa yang telah melakukan puluhan riset yang bermanfaat bagi masyarakat. Setiap tahun kita punya inovator-inovator yang karyanya belum diperhatikan pemerintah. Akhirnya mereka diambil pihak asing untuk bekerja pada mereka.

Saatnya berkarya, stop bicara.




Judul buku : Prophetic Learning
Penulis : Dwi Budiyanto
Penerbit : Pro-U Media
Tebal : 268 halaman







"Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi!" demikian kata Imam Malik. Bukanlah guru yang terbaik yang mampu membuat kita cerdas. Juga bukanlah sekolah terbaik yang akan membuat kita menguasai segala macam ilmu. Namun yang mampu mencerdaskan kita adalah usaha diri kita sendiri. Buku ini mengajak kita untuk memperbaiki cara belajar kita dengan cara belajar profetik (Prophetic Learning). Bahwa kecerdasan berawal dari kemauan tinggi dari diri sendiri akan ilmu. Dengan mencontoh generasi salafus saleh (generasi yang terdekat dengan generasi Rasulullah) buku ini mengajak kita untuk menjadi pribadi Muslim yang cerdas, berkemauan tinggi dalam menuntut ilmu, dan juga bermanfaat untuk umat.



Belakangan ini saya mulai buka-buka lagi situs http://www.ted.com. Situs yang menayangkan berbagai presentasi-presentasi menarik seputar ilmu pengetahuan dan tentu saja brand new ideas. Di situ saya menemukan salah satu presentasi yang dibawakan oleh Derek Sivers seorang praktisi teknologi yang bergerak di bidang entertainment. Sebenarnya yang dia presentasikan merupakan pengetahuan yang biasa kita temui di mana saja, apalagi saat pelatihan organisasi. Dia membawakan tentang leadership. Namun yang membuat beda adalah dia berusaha menjelaskan tentang leadership dan movement dalam waktu kurang dari 3 menit!

Saya sudah berkali-kali mengikuti pelatihan tentang organisasi dan juga kepemimpinan. Dan semuanya dibawakan tidak kurang dari 1,5 jam. Kadang itupun dirasa kurang. Namun entah bagaimana caranya Derek membawakannya kurang dari 3 menit, tapi percaya atau tidak, presentasinya memberikan pandangan yang berbeda tentang leadership dan movement.

Derek mengajak kita menonton suatu tayangan. Jujur saja, tayangannya biasa saja, tapi Derek mengklaim kita bisa mengambil pelajaran tentang leadership dan bagaimana membuat suatu pergerakan dari situ. Setting tayangan tersebut sepertinya sedang di pinggir danau, lengkap dengan orang-orang berkumpul di situ. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang bertelanjang dada joget-joget tanpa ada alasan yang jelas, entah karena ada musik atau ada apa. Semua orang akan beranggapan bahwa apa yang dilakukan itu konyol dan useless. Tetapi di luar dugaan, muncul pemuda kedua yang mengikuti tarian aneh si pemuda pertama. Akhirnya muncul dua orang aneh yang membuat gerakan-gerakan useless tanpa ada alasan yang jelas. Beberapa detik kemudian semua penonton presentasi tercengang, ada lebih banyak orang lagi yang mengikuti gerakan si pemuda yang pertama dan kedua. Akhirnya semua orang yang sedang berkumpul di pinggir danau tersebut ikut menari-nari.

Lantas pelajaran tentang leadership apa yang dapat kita ambil dari tayangan tersebut? Derek menyebutkan ada 3 elemen dan momentum yang penting dalam hal ini. Yang pertama momentum ketika ada "pelopor" tarian aneh muncul di tengah-tengah orang-orang yang sedang duduk-duduk. Si pemuda pertama inilah elemen leadernya atau pemimpin suatu pergerakan. Katanya seorang pemimpin pergerakan akan membawa suatu ide yang berbeda di tengah-tengah publik. Meskipun ide tersebut terkesan konyol dan tidak biasa, seorang pemimpin harus berani malu, demi membawa suatu pergerakan tersebut.

Yang kedua adalah momentum ketika muncul seorang pengikut yang mengikuti gerakan si pemuda pertama tadi. Momen ini adalah saat ketika ide tersebut mulai ada yang tertarik dan bersedia mengikuti ide tersebut. Pemuda yang kedua ini adalah elemen si pengikut pertama atau the first follower yang merupakan titik awal mulai terjadinya suatu pergerakan. Momen ini jangan sampai disia-siakan oleh sang pemimpin, dia harus membuat the first follower ini untuk memahami ide pergerakan yang dia bawa. Maksud, tujuan, dan cara membawakan pergerakan ini harus dipahami betul oleh pengikut pertama tersebut.

Secara otomatis si pengikut pertama yang sudah memahami maksud tujuan pergerakan tersebut akan mengajak teman-temannya termasuk orang lain untuk ikut menari seperti pemuda yang pertama dan kedua. Inilah momentum ketika ide tersebut mulai diterima oleh publik dan terjadi pergerakan yang nyata. Pada saat ini, situasi menjadi terbalik. Orang-orang yang tidak ikut menari akan dianggap aneh dan dipaksa mau tidak mau harus mengikuti pergerakan tersebut. In the end, a movement have been made.

Jadi, makna apa yang terkandung dalam tayangan sekaligus presentasi di atas? Semua orang bisa menjadi pemimpin, pemimpin suatu pergerakan. Hanya saja tergantung bagaimana cara dia mengelola isu yang dibawa dan mengelola the first follower yang dia punya. Intinya adalah 3 elemen dan momentum terjadinya pergerakan tersebut. Semakin kita pahami, semakin kita tahu bagaimana mengawali suatu pergerakan.

Terlepas dari mudahnya teori tersebut, perlu kita ketahui bahwa tidak mudah membawa isu dan juga ide ke tengah-tengah publik, meskipun kita menari-nari konyol seperti pemuda tadi. Masyarakat semakin cerdas, dan pikiran-pikiran kritis namun tak membangun mudah tercipta. Namun itu tadi, seorang pemimpin pergerakan harus berani malu dan dipermalukan atau dikritik macam-macam bahkan kritik yang paling tidak masuk akal sekalipun. Man shabara zafira, asalkan kita teguh terhadap ide yang dibawakan dan tetap sabar, Insya Allah pergerakan yang bermakna akan tercipta.

Gambar dicomot dari sini

 



Judul : Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan
Pengarang : Tasaro GK
Penerbit : Bentang
Tebal : 569 halaman





Sebenarnya buku ini udah lama saya beli, langsung saya baca. Entah kenapa ada sesuatu yang menarik dari buku ini, biasanya saya paling benci buku-buku novel tebal (termasuk Harry Potter). Mungkin yang membuat menarik pertama kali adalah desain covernya yang unik, sama sekali tidak menggambarkan tentang Rasulullah, apalagi hujan.

Saya ini seorang yang tidak terlalu mengenal beliau Rasulullah SAW, tapi rasanya malas betul membaca Sirah Nabawi. Tapi kebetulan sekali ada novel karya fiksi ini yang didasarkan pada Sirah Nabawiyah. Yah namanya juga karya fiksi, jadi tetap harus membaca yang benar seperti apa di Sirah Nabawiyah, bisa gawat jadinya kalau hanya mengandalkan pengetahuan dari karya fiksi ini.

Dari segi judul, novel ini cukup menarik, kalo diartikan secara harfiah, hujan itu diumpamakan wahyu dari Allah SWT, kemudian Muhammad dipilih sebagai lelaki perkasa yang akan menggenggam hujan-hujan tersebut. Sungguh pemilihan judul yang tepat.

Kemudian kita tilik isinya, Tasaro memulai novelnya dengan mengisahkan tentang berita-berita akan datangnya Sang Mesias terakhir atau nabi akhir jaman di berbagai belahan dunia dan juga menurut keyakinan-keyakinan tertentu. Misal dia menceritakan sedikit kejadian sebelum Muhammad lahir di berbagai belahan dunia pada bagian pengantar.

Sudut pandang novel ini lebih kepada perjalanan Kashva (nama asli Salman Al-Farizi salah satu sahabat Rasulullah) yang merupakan seorang pendeta ajaran Zardusht di sebuah kuil di Persia. Dia mendapat kabar akan kedatangan seorang lelaki yang disebut-sebut dalam berbagai kitab suci. Setelah terjadi konflik bathin dan juga konflik dengan penguasa Persia, Koshrou, akhirnya Kashva pun melakuan pengembaraan untuk mencari lelaki yang dijanjikan tersebut.

Selain menceritakan tentang Salman Al-Farizi juga diceritakan beberapa kisah di tanah Arab ketika Rasulullah datang, misal tentang perang Uhud, perjanjian Hudaibiyah, hingga hijrahnya Rasulullah ke Yastrib. Salah satu gaya bertutur Tasaro ketika menceritakan Rasulullah adalah gaya seperti sedang menulis surat cinta untuk seorang kekasih. Begitu mendayu-dayu dan memuji Rasulullah lengkap dengan julukan-julukannya seperti Al-Amin dan sebagainya. Nampak seperti Tasaro begitu merindukan sosok seorang Nabi Muhammad SAW.

Dan yang terakhir, untuk keseluruhan penulisan sangat baik, kelihatan bahwa Tasaro adalah seorang penulis ulung yang dapat menceritakan kejadian dengan sederhana dan detail, sangat mudah dipahami. Jadi menurut saya, buku ini highly recommended bagi yang ingin membaca secuil kisah dari Sirah Nabawi dengan rasa baru.