Pada saat Pak BJ Habibie memberikan kuliah umum di RWTH Aachen University di depan mahasiswa dan ilmuwan Indonesia beberapa pekan lalu (salah satu beritanya di sini) sempat disinggung tentang brain drain yang sedang melanda Indonesia kini, di mana banyaknya tenaga-tenaga muda intelektual yang menuntut ilmu di negeri orang namun tak kunjung pulang ke tanah airnya sendiri guna meneruskan pembangungan. Pak Habibie lantas menerangkan bahwa sah-sah saja para ilmuwan dan mahasiswa jangan pulang dulu ke Indonesia. Karena di tanah air sendiri belum ada karir pasti untuk para intelektual muda seperti mereka. Selain menjadi dosen dan tenaga pengajar di institusi pendidikan tinggi juga belum ada lapangan pekerjaan yang dapat menunjukkan karya mereka secara konkrit untuk pembangunan. Lain halnya dengan di negara-negara Eropa terutama Jerman yang sampai kini masih menjadi pusat perkembangan teknologi dunia. Perusahaan-perusahaan terkemuka di sana seperti BWM, Mercedes-Benz, Siemens, dan masih ada ratusan perusahaan kelas dunia yang menggunakan inovasi teknologi sebagai pasar bisnis mereka.

Pertanyaannya dapatkah Indonesia menjadi barometer pusat perkembangan teknologi seperti Jerman? Mengingat pesatnya pertumbuhan industri teknologi di Jerman juga karena peran sarjana dari Indonesia. Beberapa tahun lalu di masa orde baru, Pak Habibie berhasil menancapkan tombak perjuangan pembangungan teknologi Indonesia. Pada saat itu Pak Habibie yang baru saja dipanggil kembali ke Indonesia oleh mantan preside Soeharto, Alm. diminta untuk memimpin pembangunan teknologi di Indonesia. Pak Habibie pun masuk ke dalam Kabinet Pembangunan ke-3 pada tahun 1978. Sungguh luar biasa dalam waktu singkat berhasil membangun beberapa badan organisasi untuk menunjang pembangunan riset dan teknologi Indonesia di antaranya BPPT dan IPTN. Yang betul-betul nampak peran Pak Habibie adalah pencanangan pembangunan inudstri penerbangan di Indonesia yang menghasilkan keberhasilan menciptakan pesawat asli buatan Indonesia bernama "Gatot Koco". Pesawat ini terbang perdana tahun 1995, sungguh prestasi yang luar biasa.

Yang perlu kita catat pada saat itu adalah momen kembalinya para ilmuwan Indonesia yang mengabdi pada negeri orang. Tentu saja pengabdian mereka semata-mata karena jaminan hidup layak dan kecintaan mereka pada profesi mereka. Namun Pak Habibie mampu meyakinkan rekan-rekannya ilmuwan di Jerman untuk pulang ke tanah air untuk membangun teknologi di sini. Kini puluhan tahun sudah berlalu semenjak momen tersebut dan makin banyak Indonesia punya ilmuwan di negeri orang. Mampukah kita mengulang momen itu kembali dan membuat Indonesia makin dilirik oleh dunia karena perkembangan teknologinya yang canggih?

Kita tidak hanya memiliki ilmuwan di industri penerbangan. Kita masih memiliki Ken "Kawan" Soetanto ilmuwan teknologi biomedis di Jepang. Pencipta Electric Capacitance Volume Tomography Dr. Warsito Purnomo. Saya yakin masih banyak ilmuwan di luar sana di berbagi bidang mau kembali membangun Indonesia. Tinggal kapan kita mau mewujudwak perubahan Brain Drain menjadi Brain Gain?

Tulisan ini saya dedikasikan untuk memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus. Untuk mengingat kembali bahwa kita pernah jaya di bidang teknologi, sesuatu yang membuat kita bangga menjadi bangsa Indonesia.

Selamat hari kebangkitan teknologi nasional! Terima kasih kepada pada Bapak Prof. Dr-Ing. B.J. Habibie telah membuka mata kita bahwa kita tidak bisa menjadi bangsa yang minder, tapi kita juga bisa seperti negara lain.

0 comments:

Post a Comment